Kamis, 07 Mei 2009
keep praying 4 a miracle
I know I'm not a perfect human, and I try to fix every mistakes I've done.
I hope God still love me and give the best destiny for me.
I have trying, n now I just waiting..
Selasa, 05 Mei 2009
My love story is so tragic
My love story is so tragic. Begitu tulisku pada statusku di Facebook pagi ini. Sambil menghirup kopi manis hangat, kumulai aktivitasku di kantor. Sudah menjadi rutinitasku sesampainya di meja kerja, menyalakan computer, lalu mengecek Facebook, Email, dan tak lupa Yahoo Messenger dalam keadaan online. Pagi ini aku tak bersemangat. Mama yang sudah membuatku hilang mood sebelum berangkat kerja.
Semalam ia mengetahui aku masih berhubungan dengan mantan pacarku, Vega. Mama tidak pernah suka Vega. Dia membencinya karena Vega lah yang mengambil keperawananku sebelum waktunya. Aku dan Vega memang sudah terlalu jauh. Tapi kami melakukannya karena saling mencintai, hingga bagaimanapun Mama berusaha memisahkan kami, kami tak pernah bisa saling melupakan dan selalu ada jalan untuk kembali lagi. Sudah beberapa kali Mama mengetahui aku berhubungan lagi dengan Vega. Dan sebanyak itulah dia memisahkan kami, dari cara yang halus hingga melibatkan polisi – yaitu ketika aku kabur dari rumah.
Aku mengenal Vega semenjak kuliah. Karena jauh dari keluarga, aku pun akhirnya tinggal bersama Vega walaupun belum sah suami istri. Aku tahu itu salah. Tapi kami memang tidak bisa dipisahkan. Bahkan hingga kini aku kembali lagi ke rumah pun, selalu ada jalan yang mempertemukan kami. Bersyukurnya aku karena hidup di zaman yang telah mengenal internet dan segala kecanggihan teknologi. Jika tidak ada itu semua, entah bagaimana aku bisa berhubungan lagi dengan Vega.
Beberapa temanku berkomentar tentang statusku.
“What’s happening?? o_O” komentar Bayu, pacar sahabatku. Dialah orang yang paling sering komentar statusku di Facebook dan seringnya dia yang menjadi orang pertama yang berkomentar. Dia sahabat yang baik, seorang yang cerdas dan aku selalu menyukai kata-katanya. Desi beruntung mendapatkannya.
Aku membalasnya, “It’s complicated ~_~”. Aku ragu-ragu untuk curhat padanya. Namun aku akhirnya mengirim pesan juga padanya dengan subjek “Curhat dikit aah”. Aku bilang padanya salahkah jika aku mencintai orang yang tidak disukai oleh orang tuaku?
Lalu dia menjawab, memang susah kalau urusannya sudah menyangkut orang tua, semuanya jadi serba salah. Tapi kamu pasti tau lah orang tua menginginkan anaknya yang terbaik. Yang aku tau tentang kriteria wajib orang tua yang punya anak gadis : 1. Mapan, 2. Agama, 3. Baik. Lagian kriteria yang diajukan itu kan juga buat kamu juga. Apa kamu ngga bangga mempunyai seorang suami yang hebat? Yah semoga bisa membantu jawaban aku ini ^_^.
Aku mendesah dalam hati. Masalahnya Vega itu tidak mempunyai pekerjaan pegawai negeri seperti yang orang tuaku mau, tidak juga mapan mempunyai rumah dan mobil, apalagi dia sudah melanggar larangan agama dengan bercinta denganku sebelum waktunya. Dan lagi-lagi aku berada di persimpangan jalan yang mengharuskan aku memilih orang tuaku – yang mengurusku sedari lahir hingga sekarang, ataukah Vega – lelaki yang sangat kucintai.
My love is so tragic. Bukankah tragis jika mencintai seseorang tapi tak bisa memilikinya? Dulu sewaktu masih kuliah dan masih tak bisa lepas dari orang tua karena aku masih dituntut menunaikan kewajibanku untuk menyelesaikan kuliah, aku berpikir memang tidak bisa bersamanya lagi. Inilah akhir cerita cinta kita. Aku harus melanjutkan hidup. Pasti aku akan bertemu laki-laki lain yang jauh lebih baik dari dirinya. Namun nyatanya sejak berpisah dengannya, aku tak pernah bisa melupakannya. Setiap apa yang kulakukan selalu mengingatkanku padanya. Anehnya, selama aku berpisah dengannya tak pernah ada lelaki lain yang hadir dalam hatiku. Rasa kesepian menghinggapi diriku dan membuatku semakin ingin kembali padanya dan merasakan kasih sayang seorang kekasih, yang tidak akan pernah bisa diberikan orang tua ku. Tapi saat itu aku masih terlalu gengsi untuk mengakui aku mencintainya setengah mati dan sebenarnya tak perduli apa kata orang lain tentang dirinya. Aku sudah pernah merasakan hidup susah dan senang bersamanya, aku sudah pernah bermesraan dan bertengkar hebat dengannya, dan aku yakin dialah yang kuinginkan.
Hubungan kami putus nyambung entah sudah berapa kali. Biasanya memang dia yang lebih sering mengungkapkan betapa dia mencintaiku dan bukan menginginkan harta keluargaku. Dia selalu mengajakku pergi jauh meninggalkan semuanya, tapi aku selalu meragu apakah hidup hanya cukup dengan cinta? Tapi sekarang aku tahu jawabannya adalah iya. Sebelum aku lari dari rumah, aku tak pernah tahu rasa cinta yang begitu besar membuatku bisa sabar hidup susah dan menjalani pekerjaan yang menguras tenaga dengan gaji standar UMR. Sebelum aku lari dari rumah, aku tak pernah tahu rasa cintanya yang tulus bisa membuatnya berkorban dan melakukan apa saja demi diriku. Kita berdua tidak pernah tahu sebelumnya, jika cinta yang kuat akan selalu bisa memberikan jalan. Kita akan selalu bisa melalukan lebih dari yang kita bisa jika mempunyai cinta yang kuat. Dan ketika kusadari itu semua, kali ini aku lah yang menghampirinya untuk kembali padaku. Namun semangat cinta yang berkobar-kobar itu padam seketika sewaktu kutahu ada wanita lain yang sedang bersamanya. Selama ini dia tidak pernah berpaling, dia bilang cinta mati padaku, tapi kenapa sekarang bisa begini? Aku menenangkan diri. Memang aku yang salah karena telah menggantungkan cintanya dan tidak bisa memberi kepastian. Entah kenapa aku merespon semua hal mengagetkan itu dengan tidak biasa, ngga aku banget! Aku yang biasanya, pasti akan marah-marah, menyalahkan dia, memakinya telah menghianati cinta kita, dan pergi dari hadapannya begitu saja. Tapi kali ini aku sadar cara seperti itulah yang aku lakukan berkali-kali padanya sejak pertama kali putus nyambung. Betapa egoisnya aku tak pernah menyadari kesalahanku. Dia berpaling seperti itupun mungkin karena sudah muak dengan sikap egoisku dan berpikir aku tak pantas mendapat cintanya yang tulus seluruh jiwa raga.
Setelah diriku cukup tenang, aku belajar menerima semuanya. Jika pun akhirnya dia tak mau kembali padaku, aku akan merelakannya. Kukatakan dengan tenang, jika wanita itu sudah menggantikan aku dihatinya, aku ikhlas menerimanya. Dia terdiam dan bertanya, “Kamu masih sayang kan sama aku? Kenapa sih kamu ngga pernah mengakuinya?”
Aku menangis. “Iya, iya aku masih sayang, aku masih cinta kamu. Hatiku sakit kamu sudah punya yang lain. Aku kira kamu akan setia menunggu aku. Tapi itu memang salah aku, yang ngga pernah bisa memberi kejelasan akan dibawa kemana hubungan kita ini. Aku tau kamu capek nunggu aku terus-terusan tanpa tau pasti apakah akan memiliki aku atau tidak. Aku tau kamu bosan harus meminta dulu supaya aku mengatakan aku sayang kamu. Tapi sekarang aku katakan yang sejujurnya, karena aku juga udah capek bergengsi-gengsi ria hingga akhirnya kehilangan orang yang kucintai. Aku sayang kamu. AKU CINTA MATI SAMA KAMU!” Tangisku makin terisak. “Tapi sekarang udah terlambat yah untuk mengakui semuanya. Kamu…” aku tak sanggup lagi berkata-kata.
“Aku emang terpuruk banget setelah kamu kembali ke orang tua kamu. Iya, aku lelah walaupun aku memohon ribuan kali, tapi kamu ngga pernah bisa memilih. Dan ketika ada wanita lain yang menginginkan cintaku dan rela berbuat apa saja demi aku, dua hal yang benar-benar aku ingin kamu bisa seperti itu− aku pun berpikir untuk melupakan kamu dan melanjutkan hidup. Tapi entah kenapa aku kasihan sama wanita selain kamu yang akan kunikahi kelak. Karena… mungkin tubuhku milik dia, tapi hati dan pikiranku selalu tertuju pada kamu. Aku ngga bisa menghilangkan kamu. Aku udah berusaha keras melupakan kamu dengan segala cara, sampe-sampe mencoba berhubungan dengan wanita lain. Tapi emang aku ngga bisa! Kamu ngerti gak sih?”
Hatiku begitu terharu. Memang harusnya kita berdua dijadikan satu, bukan dipisah-pisahkan seperti ini. Rasanya semakin terpisah, malah selalu ingin kembali lagi. “Kamu… mau balikan sama aku lagi?” tanyaku.
Vega tertawa kecil. “Aku gak percaya kamu bisa ngomong begitu. Biasanya aku yang selalu memohon kembali. Tentu aja aku mau. Kamu udah berubah. Berubah drastis dan dewasa banget.”
“Mungkin ini saatnya aku menyadari saatnya berpikiran dewasa. Dulu kamu sering menyuruh aku untuk bersikap dewasa, tapi yang ada aku malah makin kayak anak kecil. Semua ada waktunya, sayang. Dan sekarang waktunya kita kembali dan memperbaiki semuanya.”
Aku kembali lagi bersama Vega. Vega memutuskan wanita yang sempat mengisi kesepiannya, tapi tak bisa mencintainya karena cintanya hanya untukku. Dan sekarang halangan terbesar adalah orang tua ku, khususnya Mama. Kenapa Mama tak bisa menerima pilihanku? Toh jika aku hidup susah, aku berjanji tidak akan meminta sepeser pun uangnya. Aku telah memilih lelaki pilihanku, sudah pasti harus aku tanggung semua resikonya. Vega mengajariku banyak hal, salah satunya dia pernah bilang dewasa itu sakit. Dan aku baru mengerti sekarang arti perkataannya itu. Bersikap dewasa kadang menyakitkan, tapi itulah orang dewasa, dapat menerima rasa sakit itu. Kita sewaktu kecil yang menangis jika disuntik, tentu berbeda dengan kita yang sudah dewasa yang hanya meringis kecil ketika disuntik. Tapi kenapa yah sepertinya Mama masih belum bisa bersikap seperti itu. Aku mungkin akan tahu jawabnya jika sudah menjadi seorang ibu seperti dirinya. Tapi yang kutahu pasti, Mama sangat menyayangiku hingga tak rela gadis kesayangannya ini hidup bersusah-susah. Tapi Ma, aku sudah dewasa. Lihatlah aku yang tingginya sudah melebihi dirimu dan tak lagi merengek meminta mainan. Cepat atau lambat seorang anak harus bisa hidup mandiri. Jika Mama terus-terusan mengatur hidupku, itu hanyalah cara Mama mengungkapkan bahwa Mama tidak ingin kehilangan gadis kecilnya. Tapi terimalah, anak gadismu ini tumbuh dan berkembang. Tak selamanya bisa diatur dan diperlakukan seperti anak kecil. Tugasmu sebagai orang tua lah yang membimbing kemana aku harus pergi. Semua resiko perbuatanku, harus dapat aku tanggung jawabkan. Jika pun aku sempat terjatuh, tugasmu lah untuk membantuku berdiri dan menyemangatiku berlari lagi. Bukannya setelah membantuku berdiri kemudian melarang aku keluar rumah untuk berlarian lagi.
Yah, inilah saatnya aku bicara perasaanku pada Mama. Bicara hatiku yang sebenarnya. Inilah saatnya dia tahu aku telah dewasa dan punya sudut pandang sendiri mengenai hidupku. Mungkin dia akan kaget aku menentangnya. Entah dia akan memutuskan apa. Namun yang pasti, setelah aku mengatakan semua yang harus kukatakan pada Mama, aku akan berlari pada orang kucintai. Takkan kulepaskan lagi. Selamanya.